“Menjadi diri sendiri”, bentuk perawatan diri atau hanya sekadar egoisme pribadi ?
Oke, jadi belakangan ini, aku sering melihat kata — kata ini,
Lebih baik aku menjadi diri sendiri tapi aku tidak memenuhi ekspektasi orang lain daripada aku memenuhi ekspektasi orang lain tapi pada akhirnya aku menjadi orang lain.
Atau beberapa lainnya yang mirip dengan kata tersebut.
Disclaimer dulu, aku di sini tidak ingin melakukan jugdgement pada siapapun, tulisan ini cuman sekadar pemikiranku yang terlintas, dan juga karena aku gak bisa nahan terlalu lama pemikiranku di otak. Jadi aku tuangin dalam bentuk tulisan dan bila memang ada pihak yang tersinggung, aku mohon maaf banget.
Permulaannya
Awalnya aku termasuk orang — orang yang suka berpikir bagaimana pandangan orang ke aku (mungkin hingga sekarang), namun aku berhasil sedikit demi sedikit menguranginya. Pada keadaan tersebut aku banyak sekali mikir,
“Ini kalo aku gini, orang lain bakal lihatnya gimana ya?”
Atau aku selalu mastiin orang di sekitarku senang dengan keberadaanku. Dan aku pun berusaha agar setiap orang senang dengan aku, namun hal tersebut justru tidak nyaman untukku, dan malah sering membuatku sakit kepala karena terus menerus memikirkan bagaimana jika orang itu ternyata tidak senang dengan perilaku ku yang seperti ini.
The turning point to “Menjadi diri sendiri”
Hingga suatu ketika, aku melihat beberapa akun self improvement, banyak sekali yang bilang intinya itu, “Stop trying so hard to please people”, atau bahkan hingga ada yang mengutip dari mendiang Steve Jobs,
“If you want to make everyone happy, don’t be a leader, sell ice cream”
- Steve Jobs
Aku nggak akan bahas hingga konteks “being a leader”, tapi lebih ke kasus yang lebih umum.
Ok aku lanjutin, dari situ, aku merasa “Yaaa, mungkin aku terlalu sering berusaha buat nyenengin orang”, hingga pada akhirnya aku pun juga berusaha buat menerima diriku ini, dan berusaha buat don’t give a damn about pandangan — pandangan orang ke aku. Dan akhirnya, Maaaan, I’m so relieved. Rasanya beban besar itu sedikit demi sedikit berkurang dari pundakku. Dan aku pun bisa lebih bebas menjadi diriku sendiri tanpa harus terbebani dengan ekspektasi berlebihan dari seseorang kepadaku.
Munculnya thought seperti di judul :v
Jadi, awalnya muncul pemikiran seperti di judul berawal dari ketika aku melihat whatsapp status si “A” yang intinya berisi seperti ini,
temannya A : “He, kamu nggak apa — apa ta barbar kayak gini ?”
A : “Nggak apa — apa dong, asal aku jadi diriku sendiri”
Lantas aku pun berpikir, kalo semisal ya, kamu itu senang dengan kebarbaranmu, namun dengan hal tersebut menjadi sebab suatu masalah, terus bagaimana ? Misal ya temanmu tersinggung karena saking barbarmu, atau temanmu ada yang tersakiti karena kebarbaranmu gimana ? Apakah akan kamu teruskan seperti itu ? Yang demikian apakah akan kamu teruskan karena hal tersebut menjadi bentuk perawatan dirimu dengan mengatakan menjadi diriku sendiri atau justru kamu malah bersikap egois, karena kamu hanya mementingkan dirimu sendiri ?
“Yang penting diriku senang, soal kamu ya aku nggak peduli”
Di salah satu post-nya mas Fardiyandi, sebenernya sudah dikatakan,
Menjadi apa adanya bukan karena “ego” tidak ingin berubah, tapi proses belajar untuk menerima kapasitas diri kita sebenarnya.
Tapi entah kenapa, bila aku ambil dari contoh kasus tadi, aku malah melihat egoisme pribadi yang ada, bukan bentuk dari perawatan diri atau usaha menerima kapasitas diri, Correct Me if I’m Wrong. Jadinya kata “Menjadi diri sendiri” bisa disalahgunakan untuk melanggengkan egoisme pribadi seseorang.
Akhir kata, aku mungkin mau mengingatkan kembali, kalo ini aku murni nggak ingin nge judge siapapun, kudos ke kalian yang belajar untuk menerima kapasitas diri kalian, pertahanin. Dan aku sekarang sebenernya lagi kebingungan juga :v, ini aku mencoba jadi diri sendiri itu karena egoku atau emang pengen ngerawat diri wkwkwkwkwk. Oke kalo kalian mau terima pemikiran ini silakan, kalo nggak ya silakan.
Yak, sekian dulu tulisan kali ini, feel free to judge me lol. Stay safe and stay healthy.